CANDI AGUNG GUMUK KANCIL BANYUWANGI
Candi Agung Gumuk Kancil – Candi Agung Gumuk Kancil terletak di di Dusun Wonoasih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore, Bannyuwangi. Candi bermotif Prambanan itu digarap selama 132 hari dengan dana Rp 150 juta. Diresmikan pada 11 Agustus 2002.
Lokasi
candi yang berada tepat di Petilasan Maha Rsi Markandeya ini mudah
dijangkau, untuk mencapainya bisa menggunakan kendaraan roda empat.
Jaraknya sekitar 80 kilometer dari kota Banyuwangi ke arah barat.<
?xml:namespace prefix = o />
Lokasi
candi yang berada di pinggir hutan milik Kesatuan Pemangku hutan (KPH)
Perhutani Banyuwangi Barat itu sebenarnya dibuka untuk umum. Selain
lokasinya bagus, tempat itu oleh umat hindu disucikan karena dipercaya
sebagai petilasan Maha Rsi Markandeya, seorang tokoh penyebar agama
Hindu pertama di jawa. Di lokasi itu ada beberapa tempat yang
dikeramatkan. Selain candi Agung gumuk kancil juga ada Pura Puncak Raung
dan Beji.
Dikisahkan, Rsi Markandeya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Setelah bermeditasi, Rsi Markandeya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di lereng Raung. Karena itu tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat). Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu.
Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. Sedangkan letak situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu gerbang situs.
Candi Agung Gumuk Kancil
Pengunjung
Candi Agung Gumuk Kancil tidak hanya sebatas umat Hindu yang ingin
bersembahyang, namun ada juga kalangan penganut kejawen yang datang
untuk meminta nasihat spiritual kepada pemangku kompleks candi sambil
berdiskusi dan bermeditasi. Ada juga yang melakukan kaulan. Jika kaulnya
dikabulkan, biasanya mereka datang lagi untuk menggelar ritual.Candi
Agung Gumuk Kancil berstatus cagar budaya. Tempat ini masuk salah satu
tujuan wisata spiritual yang ditetapkan Pemkab Banyuwangi. Namun, biaya
perawatan candi, masih mengandalkan sumbangan dari pengunjung.
Sejak
dulu Gumuk Kancil dikenal mistis. Sebelum ada pura, pengikut kejawen
sering bersembahyang di tempat ini. Para pemburu binatang pun sebelum
berburu berdoa di sini. Candi Agung Gumuk Kancil juga menjadi tempat
pengikut kejawen untuk meditasi. Mereka juga banyak datang dari luar
Kabupaten Banyuwangi. Sehari-harinya, candi ini dipelihara 11 KK umat
Hindu yang bertempat tinggal di sekitar candi.
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>
ASAL USUL CANDI AGUNG GUMUK KANCIL
Keberadaan
Candi Agung Gumuk Kancil tidak lepas dari sosok Maha Rsi Markandeya,
tokoh spiritual abad ke-7 masehi. Sebelum hijrah ke Bali, Rsi Markandeya
hidup dan memiliki pasraman di lereng Gunung Raung, Banyuwangi.
Zaman
dulu di sepanjang lereng Raung dipercaya menjadi wilayah pasraman yang
ditempati masyarakat Jawa Aga (sebutan untuk masyarakat yang tinggal di
lereng selatang gunung Raung). Pasramannya dikenal dengan sebutan Diwang
Ukir Damalung membentang dari Banyuwangi hingga Besuki, Situbondo.
Komunitas Hindu di lereng Raung tersebar di dua dusun, Sugihwaras dan
Wono Asih, Desa Bumiharjo, Kecamatan Glenmore. Dua dusun terpencil ini
berlokasi di lereng selatan Raung.
Dikisahkan, Rsi Markandeya mengajak sekitar 800 pengikut menyeberang ke Bali. Sampai di pegunungan Toh Langkir, Besakih, Karangasem, sebagian besar pengikutnya meninggal akibat terserang penyakit. Setelah bermeditasi, Rsi Markandeya bersama sebagian pengikutnya kembali lagi ke lereng Raung. Keanehan muncul, pengikutnya mendadak sembuh setelah mandi di lereng Raung. Karena itu tempat tersebut kemudian disebut dengan nama Sugihwaras (sugih = kaya, waras = sehat). Mayoritas penduduk Sugihwaras sekarang pemeluk Hindu.
Kemudian,
Rsi Markandeya kembali ke Bali disertai sekitar 400 pengikut,
mengangkut bale agung dari Raung. Sang Rsi juga membawa panca datu, lima
jenis logam yang menjadi cikal bakal upacara di Bali. Di Bali bekas
perjalanan Rsi Markandeya bisa ditemukan di Pura Raung, Tegalalang,
Gianyar.
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>
Kepastian
bekas kehidupan Resi Markandeya di lereng Raung diketahui warga sekitar
tahun 1966. Saat itu Agama Hindu sedang berkembang setelah terjadi
pergolakan politik peristiwa G 30 S/PKI. Pengikut ajaran kejawen memilih
Hindu sebagai patokan sembahyang. Setelah itu, warga yang hidup di
pinggir hutan Raung, tepatnya di Gumuk Kancil menemukan sebuah genta
terbuat dari kuningan.Sejak itu, sejumlah peralatan
sembahyang lainnya sering ditemukan, seperti arca Siwa. Kebanyakan
barang itu terbuat dari bahan kuningan. Warga juga banyak menemukan
perabot rumah tangga seperti cangkir, uang kepeng, tempat tirta, kendi.
Hampir seluruh benda itu ditemukan dalam timbunan tanah.
Warga pun menemukan bekas bangunan candi di tengah hutan, terbuat
dari batu padas berukir indah. Sebuah arca Siwa lingam juga ditemukan di
tempat ini. Lokasinya di tengah hutan Gumuk Payung, Kecamatan Sempu,
sekitar lima kilometer arah timur lereng Raung.
Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandeya menjadi panutannya. Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak gunung. Umat Hindu meyakini inilah bekas tempat pertapaanya Rsi Markandeya.
Candi di Gumuk Kancil itu terbuat dari batu andesit yang konon didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali, dibangun tahun 2001. Arsiteknya tokoh spiritual kejawen yang juga juru kunci Candi Prambanan, Yogyakarta, Dulhamid Jaya Prana. Berdirinya candi bertepatan dengan purnama kanem penanggalan Jawa.
Bagi umat Hindu Sugihwaras, Rsi Markandeya menjadi panutannya. Untuk mengenang ajarannya, umat setempat membangun sebuah candi di Gumuk Kancil. Bentuknya menyerupai batu di atas bukit. Letaknya menghadap ke puncak gunung. Umat Hindu meyakini inilah bekas tempat pertapaanya Rsi Markandeya.
Candi di Gumuk Kancil itu terbuat dari batu andesit yang konon didatangkan dari puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Agung di Bali, dibangun tahun 2001. Arsiteknya tokoh spiritual kejawen yang juga juru kunci Candi Prambanan, Yogyakarta, Dulhamid Jaya Prana. Berdirinya candi bertepatan dengan purnama kanem penanggalan Jawa.
Candi
yang berdiri di lahan seluas 25 are itu dilengkapi dengan arca Maha Rsi
Markandeya, Ciwa dan Budha. Semuanya berbahan baku batu merapi. Selain
itu juga ada bale pawedan, tempat sesajen dan senderan.
Batu
yang digunakan di Candi Agung Gumuk Kancil diusung dari Gunung Agung
Bali dan Muntilan, Jawa Tengah. Jenis batu dari Gunung Agung adalah
andesit. Batu tersebut sengaja didatangkan dari Bali dan Jateng, dengan
maksud menyatukan kembali tali perkawinan putri Gunung Agung dengan
putra Jawa Tengah. Selain itu, dengan perpaduan ini ada maksud ingin
mengembalikan sejarah perjalanan ritual Maha Rsi Markandeya yang dimulai
dari Jawa menuju Bali. Candi Agung Gumuk Kancil sengaja bermotif
Prambanan karena Prambanan dikenal sebagai candi terbesar umat Hindu.
Karena itu candi ini menjadi simbol persatuan Jawa-Bali.
Di
candi setinggi 13 meter itu terdapat tiga arca utama, yakni arca Siwa
Mahadewa di sisi timur, arca Rsi Markandeya dan Tri Murti di sisi barat.
Di depan terdapat pintu utama candi untuk pemujaan.
MENJADI TUJUAN WISATA SPIRITUAL
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>
<!–[if !supportLineBreakNewLine]–>
<!–[endif]–>
Selain
Candi Agung Gumuk Kancil, banyak tempat lagi di sekitar Dusun
Sugihwaras yang bisa dijadikan objek perjalanan spiritual. Seluruh
lokasi ini diyakini bekas perkampungan kaum Jawa Aga pada masa Rsi
Markandeya. Selain Candi Agung Gumuk Kancil sedikitnya ada tiga lokasi,
yakni Partirtan Sumber Urip, Watu Gantung dan situs Candi Gumuk Payung. Empat lokasi ini letaknya terpisah, namun bisa ditempuh dalam sekali perjalanan.
Diantara ketiganya, yang dirasakan paling mistis adalah Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari batu.
Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga yang membawa kendi. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.
Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang ke mari. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi tersebut.
Dari lokasi mata air Sumber Urip, sekitar 1 km ke arah utara terdapat Watu Gantung.
Untuk mencapainya harus berjalan kaki. Watu Gantung adalah batu yang
menggantung. Tempat ini juga diyakini masih berkaitan dengan perjalanan
Rsi Markandeya.
Diantara ketiganya, yang dirasakan paling mistis adalah Patirtan Sumber Urip. Letaknya sekitar satu kilometer arah utara Gumuk Kancil. Mata air alami ini ditemukan tahun 1990-an. Sebelumnya mata air ini tertimbun hutan lindung. Sumber Urip merupakan mata air alami yang keluar dari batu.
Sejak tahun 2007, umat Hindu setempat membangun kawasan ini secara swadaya. Tepat di atas mata air utama didirikan sebuah arca Dewi Gangga yang membawa kendi. Dari sumber utama air dialirkan menggunakan 8 kepala naga. Aliran air tersebut kemudian diarahkan ke persawahan warga.
Tempat ini biasanya digunakan sebagai mendak tirta, mengambil air suci, untuk persembahyangan. Hampir tiap hari ada pengunjung datang ke mari. Rata-rata mereka peziarah spiritual. Beberapa di antaranya mengambil airnya untuk dibawa pulang. Kini, umat Hindu setempat mulai memperluas kawasan itu sebagai lokasi pemujaan. Perhutani juga mengizinkannya sebagai kawasan penyangga hutan lindung. Luasnya sekitar 100 m2. Sejak kawasan ini ditetapkan sebagai cagar budaya, masyarakat dilarang menebang pohon dan mengotori lokasi tersebut.
Lokasi lainnya Pura Puncak Raung dan Pura Giri Mulyo. Dua tempat suci ini berlokasi di bawah Candi Agung Gumuk Kancil. Sedangkan letak situs Candi Gumuk Payung agak jauh dari lokasi candi di Gumuk Kancil. Untuk mencapainya pengunjung bisa menggunakan kendaraan roda empat hingga ke pintu gerbang situs.
MATA AIR SUMBER BEJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar